Maafkan aku, Suma. Ternyata aku tak setangguh yang kamu kira. Aku menyerah. Bahkan, belum genap 365 hari menjadi istrimu, aku memilih pergi. Sebut saja aku lemah. Tapi, aku tidak mungkin tersenyum di atas tangisan wanita lain. Aku memang membenci Inggit. Andai bisa, aku ingin membunuhnya dengan tanganku sendiri. Dia tak hanya menghancurkan hatiku, tapi mimpi kita berdua.
Tera menatap kertas yang sebagian sudah ternoda tinta hitam. Hatinya teriris-iris setiap goresan tangannya terukir di atas lembaran tipis itu. Mimpi indah berumah tangga dengan Suma harus terjegal takdir Yang Kuasa.
Mungkin kisah kita sampai di sini. Jangan tangisi apa pun yang sudah terjadi. Rezeki, jodoh, dan maut itu sudah ada yang mengatur.
Setitik air mata jatuh membasahi tulisan tangan yang baru ditorehkan Tera. Basah menggenangi sebagian kata yang diukirnya dengan hati penuh luka dan berdarah. Pandangan membayang, kertasnya mengembang. Meneguhkan hati, dilanjutkan surat yang akan mewakili perasaannya saat perpisahan terjadi.
Inggit hamil. Jadilah pria yang bertanggung jawab, Suma. Bukan untukku, karena aku bukanlah wanita tangguh seperti katamu. Aku masih bisa cemburu dan sakit hati saat dilukai. Aku juga tak akan memintamu bertanggung jawab demi Inggit. Karena aku tahu cintamu padanya sudah musnah sejak lama. Tapi, bertanggung jawablah untuk darah dagingmu, bayimu yang ada di dalam kandungannya.
Anak itu titipan, bukan dosa. Mungkin bukan buah cinta, tapi dia akan jadi buah hatimu kelak.
Napas Tera tercekat. Isaknya makin terdengar nyata. Selapis cairan bening yang terus menggenangi mata membuat pandangan mengabur. Bagian tersulit saat perpisahan terjadi adalah harus terlihat kuat dan baik-baik saja.
Aku sudah menandatangani gugatan perceraian. Pengacaraku akan memprosesnya. Maaf, aku mungkin tidak akan hadir di pengadilan. Berat, aku belum bisa mengikhlaskanmu.
Terima kasih untuk hari-hari indah selama pernikahan kita. Aku bahagia walau hanya sebentar menjadi istrimu. Lupakan aku. Hidupmu harus tetap berjalan walau mungkin tanpaku.
Love you, Tera.
Tangan Tera bergetar. Dilipatnya surat yang baru selesai ditulis lalu diletakkan ke atas nakas. Tak lupa, ponsel miliknya pun diletakkan di tempat yang sama. Kamar yang menyimpan banyak canda dan tawa saat bersama, kini menjadi satu-satunya saksi atas luka dan air mata.
“Aku kuat.” Tera memaksa bibirnya tersenyum. Semakin menguatkan diri, hati makin lemah. Air mata jatuh tanpa bisa dicegah. Bersusul-susulan membasahi pipi putih mulus bak pualam.
Menyambar tas berukuran sedang, dia tak membawa banyak barang. Hanya kebutuhan pribadi yang mungkin saja diperlukan.
“Aku harus keluar dari sini sebelum Suma pulang dari kantor.”
Tera mengusap air matanya buru-buru. Tak mau sampai tangisan membuat wajahnya sembab. Di luar, ada mertua yang mungkin bertanya-tanya saat mereka bersua.
“Ini keputusanku. Aku sudah mantap untuk berpisah. Tidak boleh lemah.”
Menguatkan tekad, Tera harus meyakinkan diri berulang-ulang. Langkah kaki terasa berat, hati pun mulai meragu. Baru kemarin dia dan sang suami bertukar kemesraan, menikmati malam indah yang panjang. Hari ini, nestapa itu datang menghantam tanpa ampun.
“Inggit hamil dan Suma harus bertanggung jawab untuk anak di dalam kandungan wanita itu. Tuhan ….”
Tubuh Tera melorot ke lantai kamar yang dingin. Tas di dalam genggaman pun terempas. Dia ingat akan dosanya. Beberapa bulan lalu, demi tetap bersama dengan Suma, dia rela melawan papanya. Pria tua itu menolak memberi restu setelah suaminya itu ketahuan masih berhubungan dengan wanita dari masa lalu—Inggit.
“Tuhan, apa ini hukuman untukku?” Tera melirih. “Hukuman untuk seorang anak yang berani membantah ucapan orang tuanya. Hukuman untuk anak durhaka.”
Sesal itu selalu di akhir. Kini, Tera bisa menghikmati arti ucapan papanya. Papa Mahaka begitu tegas menolak. Bahkan, rela mengusirnya dari rumah andai masih tetap bertahan dengan Suma. Membantah dan memilih percaya pada sang suami, kini dia menanggung akibatnya.
“Pa, maafkan aku. Harusnya dulu aku mendengarkanmu. Andai waktu bisa diputar ulang, izinkan aku kembali padamu dan menjadi anak berbakti. Aku menyesal, Pa. Menyesal.”
Tak punya siapa-siapa, Tera dilema. Entah ke mana kakinya harus melangkah saat keluar dari rumah sang mertua.
☘️🍀☘️🍀
Hari kian larut. Rembulan tampak timbul tenggelam di balik awan. Bintang bertaburan di langit malam, kerlap-kerlip indah menawan. Sebuah sedan hitam berbelok masuk ke pelataran hunian mewah dua lantai bergaya Mediterania. Berhenti tepat di samping pohon akasia.
Tak lama, seorang pria muda tampak keluar dari pintu sisi sopir sembari menenteng tas laptop di tangan kiri. Senyum indah terpahat di wajahnya yang tampan. Belakangan, Suma mulai menikmati kehidupan berumah tangga dengan Tera. Wanita yang tak pernah hadir dalam mimpinya, tetapi mampu menawarkan masa depan yang indah dan bermakna.
“Dia sudah tidur?” Ada sesal di dalam tanyanya. Seharian ini dia sibuk hingga tak sempat menghubungi istrinya.
Suma menengadah, menatap ke arah lantai dua. Kamar tidurnya tampak gelap. Tak seperti biasa, terang benderang dengan sesosok wanita berdiri di balik tirai jendela.
“Lampunya rusak?”
Suma mengernyit. Mempercepat langkah, dia harus mencari tahu. Entah kenapa, hatinya mendadak resah.
“Apa Tera sakit lagi? Belakangan dia sering mengeluh pusing.” Suma bermonolog.
Sejumput kekhawatiran berganti kepanikan. Suma melempar tas laptopnya dengan kasar ke atas ranjang setelah menyalakan lampu kamar.
“Aneh? Di mana dia?”
Pandangan mengedar, istri tersayang tak ditemukan. Biasanya, wanita itu akan menyambut dengan seutas senyuman lalu menghambur memeluknya. Namun, hari ini Tera menghilang bak ditelan bumi. Jangankan hadirnya, bayangan pun tak ditemukan.
“Ra.”
Setelah lelah menyusuri tiap sudut kamar mewahnya, sepatah sapa meluncur dari bibir memanggil nama istrinya. Dia rindu pelukan Tera yang mampu meluruhkan segala lelah setelah seharian bekerja. Pun, dia kangen dengan ciuman hangat wanita itu.
“Kamu di mana, Ra?” Terdiam sejenak, otaknya mulai menyimpulkan. “Apa Tera sama Mama?”
Bermaksud mencari di luar kamar, sepucuk surat terlipat di atas nakas mengalihkan perhatiannya.
“Apa itu?”
Bersambung.