Kasus ‘bunuh diri’ satu keluarga di Jakarta Utara – Dari dugaan masalah finansial

Suasana Tempat Kejadian Perkara (TKP) setelah polisi menemukan empat orang anggota keluarga meninggal di depan sebuah apartemen di Jakarta Utara.

Kriminolog menilai keluarga korban yang diduga bunuh diri dengan melompat dari sebuah apartemen di Penjaringan, Jakarta Utara, kurang mendapatkan bantuan dari masyarakat dan keluarga besar sehingga bunuh diri menjadi “pilihan terakhir”.

Kriminolog Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, menyebut kasus semacam itu dengan istilah desperate death alias kematian putus asa. Sebab, dalam kasus ini, mereka ditengarai tidak mendapatkan bantuan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar.

“Keluarga-keluarga ini terpaksa harus berdiri sendiri, tidak bisa lagi mengakses bantuan sosial. Kalau misalnya [minta tolong] tetangga tidak mungkin, negara juga tidak bisa,” katanya.

Kasus ini, menurut Adrianus, membuktikan bahwa masyarakat urban memerlukan intervensi dari warga sekitar ataupun keluarga besar.

Berdasarkan penelitian bertajuk ” Profil statistik bunuh diri pertama di Indonesia ” ditemukan bahwa Indonesia memiliki tingkat bunuh diri tidak tercatat tertinggi di dunia, yakni 859,10% untuk bunuh diri.

Dr. Sandersan Onie, salah satu peneliti dari riset tersebut, mengatakan masyarakat Indonesia – sebagai masyarakat komunal – seharusnya dapat memperhatikan tanda-tanda bunuh diri dalam diri seseorang atau sekelompok orang.

Namun, sifat masyarakat yang komunal itu justru membuat stigma negatif terhadap orang yang melakukan percobaan bunuh diri semakin kental dan membuat mereka semakin terisolasi.

Berikut fakta-fakta yang diketahui dalam kasus ini.

Polisi masih menelusuri motif dari kasus bunuh diri sekeluarga

Menurut keterangan polisi, keempat korban ditemukan tewas di depan lobby apartemen, pada pukul 16.15 WIB sore, Sabtu (9/03).

Seorang petugas keamanan sempat mendengar dentuman, seperti benda jatuh. Ia bergegas memeriksa, sebelum akhirnya menemukan jasad empat orang di depan pelataran parkiran sebuah apartemen di Penjaringan, Jakarta Utara.

“Ketika saksi sedang berjaga di depan lobby mendengar suara benturan yang keras, ketika menoleh ternyata terdapat empat mayat,” kata Kapolres Metro Jakarta Utara Kombes Gidion Arif Setiawan,

Sekuriti setempat langsung melaporkan kejadian itu ke Polsubsektor Teluk Intan.

“[Korban] sudah tergeletak di pelataran parkir dalam posisi terlentang, selanjutnya anggota sekuriti melaporkan kejadian tersebut ke Polsubsektor Teluk Intan,” ujar Gidion.

Gidion membenarkan kepada media bahwa penyebab kematian empat orang tersebut adalah bunuh diri. Namun, pihak kepolisian masih belum mengetahui penyebab bunuh diri tersebut.

foto ilustrasi

Kepala Polsek Penjaringan Komisaris, Agus Ady Wijaya, menyatakan, berdasarkan penuturan sejumlah saksi dan barang bukti, termasuk pantauan kamera pemantau (CCTV), ada indikasi kuat keempat korban melakukan bunuh diri di lantai 21 apartemen.

“Kami belum menentukan motif yang membuat satu keluarga ini melakukan aksi bunuh diri,” kata Agus, seperti dikutip dari Antara, Sabtu (9/03).

Petugas dikatakan memeriksa para saksi seperti petugas keamanan dan keluarga korban yang lain. Selain itu pemeriksaan juga meliputi identifikasi kendaraan dan membuka ponsel milik korban.

Berdasarkan keterangan saksi-saksi, para korban bunuh diri merupakan anggota-anggota keluarga yang terdiri dari suami EA (50), istri AIL (52) dan dua anaknya, yaitu JWA (13) serta JL (15).

Menurut Agus, keempat korban mengalami luka berat di bagian kepala, tangan dan kaki. Saat ditemukan, keempat korban sudah tak bernyawa,

“Keempat jasad sudah dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo untuk dilakukan ‘visum et repertum’ dan saksi diamankan untuk dimintakan keterangan lebih lanjut,” kata Agus.

Keluarga sudah dua tahun tidak tinggal di apartemen tersebut

Kepala Polsek Penjaringan Komisaris Agus Ady Wijaya menyebut empat orang anggota keluarga yang bunuh diri sudah tidak tinggal di Apartemen Teluk Intan, Penjaringan, Jakarta Utara.

“Para korban sudah lama tidak menempati apartemen ini,” ucap Kapolsek Penjaringan Kompol Agus Ady Wijaya, kepada , Minggu (10/03).

Menurut keterangan saksi, keluarga itu sudah dua tahun tidak menempati apartemen tersebut.

”Ketika datang lagi ke apartemen, mereka langsung melakukan tindakan [bunuh diri] ini,” kata Agus.

Berdasarkan hasil identifikasi dari Indonesia Automatic Fingerprint Identification System (Inafis), korban terluka parah di sejumlah bagian tubuh.

Keempat korban ditemukan dengan tali terikat pada tangan

foto ilustrasi

Polisi menemukan ikatan tali yang putus pada tangan keempat jasad tersebut. Diduga bahwa tali tersebut terikat pada tangan sebelum mereka melakukan aksi bunuh diri.

“Kondisi EA terikat dalam tali yang sama dengan JL, namun kondisinya di bawah ikatan tali tersebut lepas,” ungkap Agus

“Kemudian AIL terikat tali yang sama dengan JWA, pada saat di bawah ikatan tali tersebut masih mengikat pada kedua tangan mereka,” tambahnya.

Polisi mengatakan saat ini masih mencari petunjuk dari ponsel korban. Tim Laboratorium Forensik (Labfor) tengah mendalami ponsel korban.

“Ponsel [milik korban] rusak, sedang dalam proses di labfor,” ujarnya.

Ayah cium istri dan dua anaknya

Dari rekaman kamera CCTV, polisi mengatakan pihaknya mengetahui sebagian aktivitas keluarga tersebut sebelum melompat dari apartemen itu.

Disebutkan, mereka terlihat naik ke lantai 22 apartemen.

Dalam rekaman video, sang ayah sempat mencium istri dan dua anaknya ketika hendak masuk lift.

“CCTV menunjukkan para korban ini datang bersama, naik lift bersama. Di lift, EA menciumi para korban lain,” ungkap Kapolsek Penjaringan Kompol Agus Ady Wijaya, Minggu (10/03), seperti dilaporkan Kompas.com.

Setelah itu, sang ibu mengumpulkan ponsel para korban dan diletakkan dalam tasnya hingga keluar lift, kata polisi.

“AIL mengumpulkan HP para korban di tasnya, sampai keluar lift bersama,” papar Agus.

Sesampainya mereka di lantai atas, tidak ada saksi lain yang melihat aktivitas mereka.

Tetapi, kamera CCTV kedua menayangkan saat empat orang itu jatuh bersamaan usai melompat dari lantai atas apartemen, tambah Agus.

Tetangga sebut keluarga diduga terlilit masalah finansial

Salah seorang tetangga korban, Arif, mengaku sudah kenal dengan keluarga korban sejak 2017. Saat itu, Arif tinggal di lantai 16, bersebelahan dengan bilik keluarga korban.

Ia mengaku sempat mendengar keluarga empat orang itu berencana pindah ke Solo, Jawa Tengah.

“Saat itu suaminya sudah pulang. Tinggal anak dan istrinya,” kata Arif, 48, kepada kantor berita Antara.

Pria yang bekerja sebagai pengusaha sarang burung walet itu menyatakan dirinya sempat memberikan uang sejumlah Rp3 juta kepada keluarga itu.

Ia mengeklaim uang itu ia berikan tanpa keluarga tersebut meminta. “Saya tahu mereka lagi susah. Perempuannya mau nangis.”

Arif mengaku selama tinggal bertetangga dengan keluarga itu, tak pernah ia mendengar keributan dari bilik tersebut.

“Cuma saya pernah lihat barang-barang di dalam rumah berantakan,” ujarnya.

Kejadian bunuh diri sekeluarga sempat viral di media sosial

Semula sebuah video yang menampilkan keempat korban terlentang di jalan viral di media sosial, Sabtu (9/3).

Dalam video itu, dijelaskan bahwa empat orang tewas diduga bunuh diri di apartemen daerah Penjaringan, Jakarta Utara. Keempat jasad terlihat ditutupi kardus sambil menunggu polisi dan petugas kesehatan tiba di lokasi.

Kapolres Metro Jakarta Utara Kombes Gidion Arif Setiawan menambahkan empat jenazah itu dibawa ke RS Cipto Mangunkusumo sekitar pukul 19.05 WIB untuk dilakukan Visum Et Refertum (VER).

Diketahui, tempat kejadian perkara (TKP) kini dibatasi dengan garis kuning polisi.

Kriminolog: Hilangnya safety net bagi keluarga-keluarga rentan

Kriminolog Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, mengatakan keluarga seharusnya dapat menjadi jaring pengaman atau safety net dalam pencegahan bunuh diri.

Sebab dahulu kala, sambungnya, masyarakat tidak segan untuk meminta tolong kepada keluarga besar saat menghadapi kesulitan hidup, baik secara finansial ataupun sosial. Namun, tren itu semakin berkurang dengan semakin berjaraknya anggota-anggota keluarga.

“Kalau dulu keluarga besar bisa membantu, tapi mungkin seiring berjalannya waktu, dan anaknya semakin dewasa dan mulai memiliki pemikiran lain. Kalaupun mau minta bantuan ke keluarga besar, sudah tidak ada gunanya lagi,” ujar Adrianus kepada BBC News Indonesia.

Ia mengatakan seringkali dalam kasus bunuh diri sekeluarga, tak hanya orang tua yang menanggung beban, tetapi anak-anak juga. Karena tidak ada pilihan lain, mereka akhirnya memilih tewas sekeluarga.

Contohnya, kasus bunuh diri ibu dan anak, Grace Arijani Harapan (68) dan David Aryanto Wibowo (38), di kawasan Cinere, Kota Depok, pada September 2023 lalu.

Mereka menderita mati lemas (asfiksia) karena mengurung diri di ruang sempit. Rasa frustrasi dan depresi akibat masalah ekonomi setelah ditinggal sang kepala keluarga menjadi alasannya.

Kemudian, ada pula keluarga guru SD di Desa Saptorenggo, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang yang melakukan bunuh diri dengan meminum obat nyamuk karen terlilit utang pada Desember 2023.

“Semuanya sampai pada suatu keputusan untuk kemudian bunuh diri. Itu yang pertama. Yang kedua, selalu mungkin bahwa ada situasi relasi kuasa. Di mana orang tua mempengaruhi anaknya, memaksa anaknya secara halus,” ujar Adrianus.

Oleh karena itu, ia menyarankan agar pemerintah – serta masyarakat – memfokuskan upaya pencegahan bunuh diri lewat pendekatan religius atau komunitas agar masyarakat yang merasa putus asa atau kehilangan harapan tidak memandang bunuh diri sebagai opsi.

Pendekatan masyarakat Indonesia terhadap bunuh diri perlu diubah

Peneliti dari Black Dog Institute Australia dan Presiden Asosiasi Indonesia untuk Pencegahan Bunuh Diri, Dr. Sandersan Onie, mengatakan bahwa masyarakat Indonesia masih enggan untuk bercerita kepada orang-orang terdekat ketika timbul keinginan bunuh diri.

“Kita tidak bisa menyelesaikan masalah yang tidak ingin kita hadapi. Kita sudah melihat ada penyebaran geografis [provinsi dengan angka bunuh diri tertinggi],” ujar peneliti yang akrab disapa Sandy.

Ia mengatakan bahwa bunuh diri bersama yang dilakukan keluarga di Penjaringan, Jakarta Utara menunjukkan bahwa mereka sudah membuat perencanaan untuk mengakhiri hidup bersama. Namun, rencana itu sama sekali tidak diterka oleh orang-orang terdekat.

”Karena ini adalah empat orang. Empat orang yang memilih untuk mengakhiri hidup mereka. Dan kami harus menjadi lebih baik sebagai masyarakat yang diklaim komunal, untuk memperhatikan orang-orang yang menunjukkan tanda-tanda,” ujarnya.

Dr. Sandersan Onie mengatakan bahwa persepsi masyarakat terhadap bunuh diri membuat kasus-kasus tidak terlapor.

Penelitiannya menghimpun data dari lima sumber dari tahun 2016 hingga 2021, yakni data kepolisian, data pencatatan kematian, data survei provinsi, sistem pencatatan sampel, dan data Observatorium Kesehatan Global WHO (WHO GHO).

Dengan data tersebut, Sandy dan timnya mampu memperkirakan angka bunuh diri yang tidak dilaporkan, mengidentifikasi provinsi dengan tingkat bunuh diri dan sarana percobaan bunuh diri tertinggi.

Provinsi dengan angka bunuh diri tertinggi adalah Bali, Kepulauan Riau, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Kalimantan Tengah.

Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa angka percobaan bunuh diri lebih dari 30 kali lebih besar dibandingkan angka bunuh diri yang berakhir kematian.

Sandy mengatakan bahwa pencegahan bunuh diri tidak hanya dapat dilakukan dari segi kesehatan mental, melainkan juga dari segi kesejahteraan sosial, layanan masyarakat dan penerimaan sosial.

Salah satu langkah pencegahan dapat berupa keberanian masyarakat untuk membahasnya serta pembaruan sistem data yang lebih akurat.

“Bunuh diri tidak mencerminkan kesehatan mental seseorang, namun mencerminkan kehidupan seseorang. Ini bukan hanya tentang apa yang ada di dalamnya, tapi juga tentang lingkungan dan segala sesuatu di sekitarnya,” ungkap Sandy.