Seolah tersihir, semua mata terkunci menatap ke arah Tante Diah.
“Nggak tahu.” Tante Diah mengedikkan bahu dengan santai. “Bu RT juga nggak tahu alasannya. Apa pun itu nggak penting, sih. Yang penting kan, dia udah kena karma.”
Aku menghela napas. Sia-sia menunggu sejak tadi, ternyata Tante Diah juga tidak tahu.
“Kamu kenapa menghela napas begitu, Ning? Kecewa ya, karena Tante nggak tahu alasan Fikri bercerai?”
“E-enggak kok, Tan.” Aku tergagap.
Ah, kenapa pendengaran Tante Diah tajam sekali, sih? Pantas saja ketika bercanda, Ibu kerap mengatainya seperti kuda. Karena selain tawanya yang riuh, ia juga memiliki pendengaran cukup tajam.
“Hayo, ngaku ajah. Kamu pasti seneng kan, denger berita perceraian Fikri?”
Aku mengedarkan pandang, melihat ketiga wanita berdaster yang saat ini sedang menjatuhkan tatapannya ke arahku.
Gawat, Jenderal!
Aku harus menjawab apa sekarang? Kalau aku bilang senang, itu berarti aku bahagia di atas derita orang lain. Atau parahnya mereka kira aku belum bisa melupakan Mas Fikri. Tapi kalau aku bilang tidak senang, kenapa juga alasannya?
“Sudah … sudah. Jangan bahas Fikri terus. Sebentar lagi ayahnya Wening pulang,” ucap Ibu, mengingatkan kami bahwa Ayah tidak suka ada orang yang membicarakan Mas Fikri maupun keluarganya di rumah ini.
“Ning, kamu sudah selesai beres-beresnya? Ini bawa buat temen-temen kamu di kosan.” Ibu mengalihkan obrolan.
“Sudah, Bu, tinggal nunggu Ayah pulang kerja ajah.” Aku menerima sekotak kue bolu yang diberikan ibu. “Ya sudah, aku mandi dulu.”
Gegas, aku beranjak dari sana dan menuju kamar. Sayup-sayup terdengar lagi ucapan Tante Diah sebelum aku sempat membuka pintu.
“Kamu ini kenapa sih, Mbak? Bukannya seneng denger Fikri kena karma kok malah kaya kesel?”
BERSAMBUNG…………