Judul: Mengambil Lagi Hartaku Dari Keluarga
Kisah ini berawal dari keluarga yang bahagia namun gelap seketika sebab ada nya orang ketiga diantara mereka
simak selengkapnya :
“Mas, siapa yang tadi kamu telepon? Pake panggil yank-yank segala?” Mas Johan sepertinya kaget melihat kedatanganku yang tiba-tiba dari dalam rumah.
“Apaan sih kamu ngagetin saja!
“Katakan padaku, Mas siapa dia?! Selingkuhanmu kan itu?”
“Jangan ngarang kamu! Nuduh nggak ada bukti!”
“Aku tadi mendengar semua percakapanmu dengannya lewat telepon. Tega sekali kamu Mas kepadaku!”
“Oh jadi kamu sekarang sudah berani menguping pembicaraan suami ya. Mau jadi istri durhaka kamu?! Jangan campuri urusanku atau kamu akan kuceraikan dan menjadi janda! Seperti ibumu kamu pun akan mati sia-sia, hahaha.”
“Jahat sekali kamu Mas, apa kurangnya aku? Semua telah kukorbankan untukmu dan juga keluargamu. Lalu ini kah balasan yang harus kuterima?!”
“Mangkanya ngaca! Kamu itu banyak banget kekuranganya, kurang cantik, kurang seksi dan pokoknya kurang bisa menyenangkan hati suami! Dan satu lagi jangan pernah ungkit jasa-jasa mu pada keluargaku. Karena itu memang sudah menjadi kewajibanmu mengabdi padaku dan keluargaku!”
“Jahat sekali kamu, Mas. Aku menjadi jelek seperti ini juga karena kamu, yang tak pernah memberi nafkah untukku dan menjadikanku pembantu serta mesin pencetak uang saja!”
Plakk…
Sebuah tamparan kuterima di pipi sebelah kiri.
“Sudah kubilang jangan durhaka pada suami. Ingat ridho Tuhan itu tergantung dari ridho suami. Kalau kamu masih seperti ini maka aku akan benar-benar mencearikanmu!”
Mas Johan kemudian pergi mengendarai motornya dengan kencang, meninggalkanku yang masih menangis di teras sendiri.
Aku bingung harus bagaimana? Sakit rasanya hati ini ketika semua pengorbananku hanya dibalas dengan perselingkuhan. Jika hanya dihina dan diperas tenaga dan uangku, aku masih bisa sabar. Tetapi ketika suamiku telah selingkuh, sungguh aku tak bisa menerimanya.
Hari ini kuputuskan untuk tak masuk kerja, perasaan hatiku sedang tak karuan. Aku pun menghubungi bos di tempatku kerja dan kembali berbaring di kamar.
Tak henti-hentinya aku mengucap istighfar dan menyebut asma Allah. Aku mencoba mengurai kembali benang kusut yang selama ini membelengguku. Kenapa aku harus takut menjadi janda? Apa hanya karena aku takut akan bernasib sama seperti Ibu? Bukankah takdir setiap manusia itu berbeda-beda dan telah digariskan oleh Allah semenjak kita berada di dalam kandungan?
Kenapa juga aku selama ini terlalu bodoh? Karena telah mempertahankan pernikahan yang tidak sehat ini demi menjauhi kata ‘janda’.
Tidak, aku harus bangkit. Tak perlu takut lagi menjadi janda, lebih baik berpisah dari pada harus terus tersiksa, apalagi Mas Johan juga mulai main api di belakangku.
Selama ini aku mampu hidup sendiri, dan malah aku bisa menghidupi tiga nyawa lainnya. Berarti aku pun tak bisa jika nanti akan hidup sendiri karena sudah menjadi janda. Percuma juga punya suami, jika tak bisa mengayomi dan malah memanfaatkanku saja.
Mulai sekarang aku tak akan menjadi orang yang lemah lagi. Mereka yang telah memanfaatkanku selama ini, akan segera tahu bahwa akulah bos disini. Mas Johan dan keluarganya tak akan kubiarkan menyakitiku lagi.
Perselingkuhan Mas Johan membukakan mataku, bahwa tak selamanya pengorbanan yang kita berikan akan dibalas dengan kebaikan. Kali ini aku harus menemukan bukti yang kongkret atas perselingkuhan Mas Johan.
Suara motor berhenti di depan rumah, aku hafal sekali suara motor milikku. Berarti mertua dan iparku sudah pulang. Aku harus memakai motor itu sekarang juga menuju pangkalan Mas Johan, banyak hal yang harus ku ketahui hari ini.
“Heh, kamu Wulan kok nggak kerja sih? Malah enak-enakkan di kamar!” kata Ibu mertuaku saat melintas di depan kamar.
“Lagi pingin libur Bu, capek kerja terus,” jawabku cuek.
“Capek kamu bilang? Mau makan apa kalau kamu nggak kerja?” Ibu mertuaku itu berkacak pinggang di depan pintu kamar sambil melotot ke arahku.
“Ya makan nasi lah Bu, masak iya makan batu!”
“Sudah berani jawab ya kamu sekarang! Pakai malas-malasan kerja lagi. Kuadukan pada Johan baru tahu rasa kamu, biar langung diceraikan kamu!”
“Adukan saja Bu, terserah sesuka hati Ibu. Tolong minggir sedikit, aku mau ke kamar mandi.”
Saat aku ingin keluar beliau malah menjambak rambutku.
“Aww sakit, Bu. Apa-apaan ini? Tolong jangan main kasar!” Aku pun mencoba melepaskan tanganya dari rambutku.
Karena mungkin aku lebih muda, jadi tenagaku lebih kuat dan aku berhasil lepas darinya.
“Jangan pernah main tangan lagi kepadaku Bu, atau aku akan melaporkan perbuatan Ibu kepada polisi!” ucapku sambil berlalu menuju kamar mandi.
Sepertinya Ibu mertuaku itu shock dengan perkataanku barusan, karena selama ini setiap beliau menjambak rambutku atau mencubitiku, aku tak pernah melawan. Dan aku akan memohon-mohon agar beliau melepaskan tanganya dari tubuhku.
Maaf, Bu. Bukannya aku tak sopan pada orang tua, namun sikap kalian selama ini sudah keterlaluan padaku , dan mulai hari ini Wulan yang lemah itu sudah mati. Berganti Wulan yang kuat yang siap membalas perbuatan orang yang pernah menyakitinya dan tak takut lagi jika mendengar kata ‘cerai’ dan ‘janda’….