KETIKA ISTRI BERHENTI MINTA TOLONG

Baca selengkapnya
“Kas! Kasih!” Terdengar suara ketukan pintu berkali-kali dari luar rumah.
Kasih baru saja keluar dari kamar mandi. Mendengar teriakan suaminya dari luar, dia langsung berlari untuk membuka kunci pintunya. Setelah pintunya terbuka, suaminya memandanginya dengan wajah yang marah.

“Kenapa dikunci segala pintunya, Kas!” Rutuk Alan sembari berjalan masuk.
Kasih menutup lagi pintu rumahnya.
“Maaf, Mas. Rafa sedang bermain di lantai, aku tadi ke kamar mandi makanya aku kunci sebentar pintunya biar nggak was was.” Jawab Kasih.

“Anak sekecil ini nggak mungkin bisa buka pintu sendiri, Kas! Kamu selalu aneh-aneh aja! Suami pulang kerja, capek, malah dibuat ribet gini!” Bentak Alan sambil memijat pelipis matanya.

“Kalau orang lain yang buka pintunya dan ngambil Rafa gimana?!” Ucap Kasih sedikit meninggikan nadanya.
Alan melirik tajam Kasih.
Tiba-tiba Rafa menangis. Kasih buru-buru meraup tubuh Rafa kemudian duduk di sofa untuk menyusuinya.
Kasih tak berani menatap suaminya. Dia mencoba mengalihkan kekesalan hatinya dengan memandangi putranya yang sedang menyusu.
Alan beranjak lalu berjalan menuju meja makan. Dia pun membuka tudung saji di meja itu.

“Apa ini, Kas, cuman tempe sambel teri?” Teriak Alan.
“Maaf, Mas. Hanya itu yang bisa aku siapkan untuk malam ini. Rencananya tadi aku mau buatin kamu tumis kangkung tapi uangnya kepake buat beliin obat Mbak Leni. Kasihan dia sakit tapi nggak ada yang peduliin tadi.” Papar Kasih.
Alan membanting tudung saji ke lantai begitu keras hingga membuat Kasih terkejut bukan main.

“Uang yang aku kasih tadi itu untuk makan keluarga, Kas! Kamu nggak usah sok peduli dengan orang lain, kamu harus menomersatukan keluargamu! Yang cerdas jadi istri!” Seru Alan.
Kasih terdiam, dia berusaha membendung airmata tetapi akhirnya tidak bisa. Dalam diam dia menjuntaikan airmatanya.
Melihat istrinya menangis sambil menyusui, Alan tambah kesal.

“Kamu kalau nyusui jangan sambil nangis!” Seru Alan.
Kasih tak menjawab. Dia hanya diam sambil sesekali menyeka airmatanya namun tetap tak mampu menghentikan airmata yang keluar.
Alan pergi menghampiri Kasih dan merebut paksa Rafa dari pelukan Kasih.
“Aku nggak mau anakku ikut-ikutan cengeng gara-gara kamu. Sini, ikut Ayah, ya, Rafa.” Ucap Alan.

Ketika Alan hendak pergi, tiba-tiba lengannya ditarik oleh Kasih. Kasih beranjak. Tanpa sepatah kata, dia berusaha merebut Rafa dari gendongan suaminya.
“Apa-apaan sih kamu, Kas! Kendalikan dirimu dulu!” Seru Alan berusaha menghempas tangan Kasih.

“Dia anakku, nggak akan terjadi hal buruk padanya selama bersamaku.” Ucap Kasih.
“Dia ini anakku, Kas. Nasabnya ikut aku, yang lebih berhak atas dia itu aku, paham kamu!” Tandas Alan.

Kasih menatap nanar pada suaminya, ucapan suaminya tersebut membuatnya semakin ingin merebut Rafa dari tangan suaminya. “Berikan, berikan padaku, aku ibunya, aku ibunya!!!”

“Kamu itu kenapa, Kas!” Seru Alan sembari terus berusaha menahan Rafa dalam gendongannya.
Dalam aksinya tersebut tak sengaja dia menghempas tubuh Kasih hingga menatap tembok.

“Makanya kendalikan dirimu, Kas. Jangan coba-coba bawa Rafa sampai kamu tenang, ngerti! Aku mau ngajak Rafa jalan-jalan dulu.” Ucap Alan lalu pergi ke luar rumah meninggalkan Kasih yang sedang mematung sendiri.

Kasih terduduk di lantai, dia mengerang dalam tangisnya. Sesekali dia melempar benda yang ada di sebelahnya. Hatinya benar-benar terpukul ketika suaminya menyinggung tentang putranya, Rafa. Rafa adalah jiwanya, dia merasa dialah yang paling berhak atas Rafa. Dia tidak mau dipisahkan dengan cara seperti itu.
Di tempat lain, Alan membawa putranya ke rumah Toni supaya Rafa bisa bermain dengan anaknya Toni. Sambil menunggu anak-anak bermain, Alan mengeluhkan istrinya pada Toni. Seperti biasa, Toni bukannya berusaha meredakan emosi Alan, tetapi justru membenarkan sikap buruk Alan.

Di sudut rumah, cukup lama Kasih tenggelam dalam tangisnya, tiba-tiba seseorang membuka pintu rumahnya tanpa mengetuk terlebih dahulu. Seseorang itu berjalan hingga berdiri tepat di depan Kasih.
“Bangkit, Kasih!”

Kasih mendongak dengan wajah yang sembab. “Mbak Leni?”
Leni mengangkat lengan Kasih untuk membantunya berdiri.
“Mbak Leni….” Ucap Kasih dalam Isak tangisnya, dia tak mampu menceritakan alasan kenapa kondisinya kacau seperti itu.

“Aku sudah tahu semuanya, suamimu sedang ngobrol dengan suamiku saat ini. Dia menceritakan apa yang barusan terjadi pada kalian dan aku tidak sengaja mendengarnya.” Ucap Leni.
Kasih hanya bisa menatap Leni.
Leni mengusap airmata Kasih dengan tangannya. “Hapus air matamu! Waktu meratapi sudah habis. Sekarang waktunya bangkit.”
“Bagaimana caranya, Mbak? Rasanya aku terlalu lemah.” Tanya Kasih dengan bibir yang bergetar.

Leni memeluk Kasih sesaat. “Ayo duduk, Kas. Kita tenangin hatimu dulu.” Ajak Leni.
Leni dan Kasih duduk di sofa. Leni memegang kedua jemari Kasih. “Kamu lemah karena cintamu pada suamimu, Kas. Cinta yang melebihi cintamu pada Allah. Kalau kamu ingin kuat, caranya adalah dengan mendekat pada Pencipta-Mu, Kas.”
Kasih menatap Leni, hatinya seakan tersentil oleh ucapannya.

“Jangan mencintai suamimu melebihi cintamu pada Allah. Jangan berharap lebih selain pada-Nya. Kalau kamu berharap pada manusia, kamu pasti akan merasa kecewa. Cuman Allah yang ada untuk kita. Cuman Allah yang berhak kita cintai sebegitu kuatnya.” Tutur Leni lembut dengan mata berkaca-kaca.
“Kamu benar, Mbak. Aku terlalu bergantung pada Mas Alan dalam hal apapun hingga lupa kalau cuman Allah yang pantas menjadi tempat kita bergantung dan bersandar.” Ucap Kasih sesenggukan.

“Anak pintar, kamu cepat belajar.” Ucap Leni sedikit tertawa untuk mencairkan suasana. “Kamu harus kuat, kamu harus bangkit supaya tidak ada yang meremehkanmu termasuk suamimu. Mulai besok, aku ajari kamu banyak hal termasuk bagaimana menghasilkan uang sendiri. Kamu pasti bisa, Kas. Aku yakin!”
Kasih memandang haru pada Leni yang mau mendukungnya menjadi lebih baik. Dia langsung memeluk Leni dengan erat.