TETANGGA YANG SUKA MENGANGGAPKU MANJA DAN NGGAK MANDIRI ITU MALAH DIJODOH-JODOHIN DENGANKU. MANA ORANGNYA JUTEK DAN NGGAK PEKA.

Judul: MENIKAH DENGAN TETANGGA JUTEK

Prolog
“Sekar ndak mau, Bude!” Aku menggeleng untuk menegaskan jawaban.
Pakde Amin dan Bude Hanum yang ada di hadapanku senyum-senyum seraya sesekali menatap anak laki-lakinya yang juga duduk tak jauh dari mereka.
Lelaki muda yang kukenal itu membuang muka dengan angkuh. Sementara, di sebelahnya ada Mbak Ratih, kakak perempuan dari lelaki itu. Wanita itu memberi isyarat padaku dengan mencebikkan mulut sembari matanya melirik ke adik semata wayangnya itu.
Keluarga yang aneh!
“Lha, Masmu itu kurangnya apa? Wis baik, sholeh, pinter. Masa kamu nggak lihat. Ganteng juga iya,” tambah wanita yang kusapa Bude itu, sambil mengerling ke Mbak Ratih.
Duh, mimpi apa aku semalam. Aku tuh datang ke rumah Bude Hanum karena disuruh ibu mengantar kue pagi-pagi. Kok malah kejadiannya kayak gini.
Seperti biasa, ibu kalau bikin cemilan, pasti dilebihkan. Nanti aku disuruh nganter ke rumah Bude Hanum, tetangga kami yang hanya berjarak beberapa rumah.
Ibu dan Bude Hanum sangat dekat karena dulu dari kecil sampe SMA sekolah bareng meskipun beda tingkat satu tahun.
Tak heran jika anak Bude Hanum dan ibuku juga usianya tidak terpaut jauh. Mbak Ratih, kakaknya Mas Gilang, dan Mas Aji, kakakku, juga selisih setahun. Begitu juga aku dan Mas Gilang.
Aku dan Mas Gilang memang selalu satu sekolah sejak SD sampai SMA. Namun bukannya dekat, malah dia menganggapku musuh bebuyutan.
Mungkin karena Bude Hanum sering menyuruh Mas Gilang jagain aku sewaktu di sekolah.
“Ngapain sih, Ma. Sudah gede pake suruh dijagain,” begitu selalu jawaban Mas Gilang sambil bersungut-sungut.
Jaman aku masih SMA, kami sama-sama aktif di kegiatan OSIS. Kalau ada acara sampai malam, pasti terjadi drama.
Bagaimana tidak, Mas Gilang selalu ngloyor pulang begitu aja tanpa menungguku. Padahal angkutan umum sudah nggak ada kalau malam.
Terpaksa, Dewi, sahabatku yang naik motor akan mengantarku sampai rumah. Biasanya anak-anak OSIS yang pulang setelahku akan berkomentar pedas terhadap Mas Gilang. Dan tentu saja, aku bakal kena imbas juga.
“Makanya, nggak usah gaya-gaya ikutan OSIS, kalau pulang aja masih ngrepotin orang,” gerutunya.
Aku hanya mencebik. Dasar dianya saja yang ogah pulang bareng.
“Sorry lah, aku boncengin kamu. Nggak akan ada cewek yang boleh bonceng aku kecuali istriku!”
Begitulah Mas Gilang dengan keangkuhannya dulu. Meskipun dengan paksaan Bude, sering juga aku dipaksa bonceng dia ke sekolah. Tapi, sepanjang jalan 12 km dia diam seribu bahasa. Nyebelin. Mendingan aku naik angkutan umum!
Untungnya, saat kuliah, kami kuliah di kampus yang berbeda. Mas Gilang yang suka teknik memilih kuliah di Bandung. Sedangkan, aku kuliah dekat-dekat sini saja yang bisa setiap weekend pulang.
Sejak kuliah, aku sudah jarang ketemu Mas Gilang. Paling banter hanya lebaran saja.
Aku pikir, dengan jarangnya ketemu, dia sudah tidak jutek lagi. makin dewasa lah minimal.
Tapi, ternyata harapanku pupus. Bahkan kini, sudah bekerja pun dia tetap saja jutek!
Pantesan nggak kawin-kawin, nggak punya pacar juga. Ih, mana ada gadis yang mau sama dia! Ganteng sih iya, tapi emang bisa kita hidup modal ganteng doang?
“Sekar pulang ah, Bude!” pamitku kemudian. Males banget berlama-lama di sini dengan serangan membabi buta dan ekspresi mereka yang mengintimidasi tanpa bisa kulawan.
“Yo wis sana pulang. Besok Pakde sama Bude tak ke rumah kamu. Nganter Mas Gilang,” kata Bude Hanum datar.
“Lhah? Ngapain nganter Mas Gilang?” tanyaku sembari menghentikan langkah yang sudah mencapai pintu, dan berbalik menatap Bude.
“Ya ngelamar kamu. Ngapain lagi. Ya kan, Pak?” kata Bude Hanum sambil mengerling ke Pakde Amin, lalu melirik ke Mas Gilang.
Pria yang dilirik Bude pun diam aja. Bahkan hanya memainkan ponselnya dan sesekali menunjukkan muka masamnya. Uasyeeemmm!
“Pamit Bude, Pakde!” kataku sambil bergegas keluar rumah.
Hufff! Rupanya candaan Bude Hanum sama Mbak Ratih kala itu bukan hanya candaan.
Dulu, tiap ke rumah Bude Hanum, memang aku sering lama disitu. Ngobrol ngalor ngidul sama Bude Hanum dan Mbak Ratih. Mereka sering bilang anak mantu dan adik ipar. Tapi aku nggak terlalu peduli. Itu kan jaman masih ABG labil. Dan nggak kepikiran kalau mereka ada udang di balik bakwan.
Aku mempercepat langkah kembali ke rumah. Tiba-tiba langkahku terhenti. Kok, ada mobilnya Paklik Hanif dan Pakde Marwan di halaman rumah? Tumben-tumbenan kompak banget ke rumah bukan saat lebaran.
Perlahan aku masuk ke rumah melewati pintu samping. Di dapur terlihat banyak kantung berisi bahan makanan. Ada apa ini? Kok ibu sama bapak nggak bilang apa-apa.
***
(Dua minggu sebelumnya)
“Mama nih apa-apaan. Gilang ogah di suruh nikah sama Sekar!” sahut Gilang dengan wajah gusar.
Bagaimanapun, kredibilitas dan gengsinya dipertaruhkan. Apa kata dunia kalau tahu akhirnya dia bakal menikah dengan tetangganya yang aleman itu. Yang sok-sok aktif ikut organisasi ini itu, tapi ujung-ujungnya dia yang kena getah buat ngurusin.
“Lha, kamu itu kalau nggak mau dijodohin sama Sekar, ya buruan cari pacar. Umur sudah 25, teman-temanmu juga sudah pada punya calon. Kamu? Dari dulu masih aja sendiri,” ledek Bu Hanum pada anak laki-lakinya itu.
“Sekar itu sudah mau dilamar sama anaknya temen Bulik Ndari. Kalau kamu nggak buru-buru bisa keduluan. Pasti Pak Lik Sodiq setuju kalau anaknya temen Bulik Ndari ngalamar Sekar. Wong sudah mapan, ganteng pula,” ujar Bu Hanum, sengaja memanas-manasi anaknya.
“Ya biar saja si Sekar nikah sama dia. Gilang ndak mau. Titik!” ucap Gilang sambil berdiri, pergi meninggalkan mamanya.
“Ndak usah begitu. Nanti ujung-ujungnya nyesel lho,” ledek Ratih yang tiba-tiba masuk rumah sambil menggendong Mia-bocah berumur 2 tahun-, keponakan Gilang.
“Nggak bakalan aku nyesel,” sungut Gilang sambil mendudukkan dirinya di sofa ruang tamu.
“Eee, lha jangan begitu. Kalau Sekar jadi kawin duluan, kamu sama siapa? Mama nggak setuju kalau dia sampai kawin duluan!” potong Bu Hanum dari ruang makan. Kebetulan ruang tamu dan ruang makan di rumah Bu Hanum tanpa sekat.
“Banyak lah, Ma, yang ngantri,” sahut Gilang seenaknya sambil menyelonjorkan kakinya ke meja. Tangannya tetap aktif memencet-mencet ponselnya. Sedangkan matanya tak lepas dari layar itu.
“Mana buktinya? Mana?” tanya Bu Hanum sambil berjalan mendekat ke arah putranya.
“Kalau Sekar sampai menikah dengan laki-laki lain. Kamu harus menikah dulu dengan perempuan lain! Jangan sampai keduluan Sekar. Ingat itu!” ancam Bu Hanum sambil menatap tajam ke anak bungsunya itu.
Gilang hanya melirik sekilas. Mamanya memang begitu. Suka ngancam, tapi tidak ada realisasinya.

Gilang berdiri termangu di bawah pohon jambu di halaman rumah Randi, tetangganya yang usianya jauh lebih muda darinya.
Rumah Randi hanya berbatas pagar setinggi dada orang dewasa dengan rumah Sekar.
Terlihat dari tempat Gilang berdiri, sebuah mobil pajero sport warna hitam terparkir di sana. Gilang memicingkan matanya. Sepertinya dia kenal mobil itu. Tapi, punya siapa?
“Hai, Mas. Ngapain berdiri disitu? Masuk sini!” tegur Randi, teman main Gilang waktu kecil. Umurnya lebih muda tiga tahun darinya.
“Kok di rumah Pak Lik Sodiq ada mobil? Punya siapa, Ran?” tanya Gilang penasaran. Pemuda itu berjalan menghampiri Randi.
Di desa mereka, sudah biasa menyebut tetangga dengan panggilan Pak Lik atau Pak De meskipun tak ada hubungan darah.
“Katanya, sih, calonnya Mba Sekar,” jawab Randi datar, sesuai info yang diketauinya.
“Calonnya Sekar?” Kening Gilang berkerut. Sedikit kaget dengan apa yang didengarnya, namun dicoba disembunyikannya.
“Memangnya Sekar pulang?” sambung Gilang berusaha mengalihkan rasa penasarannya.
Sejak lulus kuliah, Sekar bekerja di Jakarta. Sama seperti dirinya, hanya pulang sesekali dalam dalam setahun. Idul Fitri dan Idul Adha.
“Katanya, sih, Mbak Sekarnya nggak ada,” sahut Randi tak acuh.
Gilang kembali melirik ke halaman rumah Sekar. Tampak olehnya, seorang pemuda keluar dari rumah bersama seorang ibu seumuran ibunya Sekar.
Tiba-tiba Gilang mengingat sesuatu. Namun, kemudian memutuksan bergegas pulang karena tak mendapatkan info lebih penting dari Randi.

“Ma, Sekar nikahnya sama siapa, sih?” tanya Gilang saat masuk ke dalam rumahnya.
Mamanya yang sedang mencuci piring, buru-buru mematikan krannya, lalu ibu paruh baya itu mengeringkan tangannya dengan lap dapur.
“Kenapa? Kamu berubah pikiran?” tanya Bu Hanum penasaran. Ada sedikut senyum mengambang terulas di bibir wanita paruh baya itu.
“Namanya Fajar, bukan?” tanya Gilang tanpa menggubris ucapan mamanya.
“Lho, kok kamu tahu?” Bu Hanum mengerutkan keningnya. “Kamu udah cari-cari info ya?” sambungnya.
“Bukan begitu, Ma. Gilang tahu Fajar itu seperti apa. Bilang sama Bulik Ndari, nggak usah diterima lamaran si Fajar!” ujar Gilang. Nadanya sangat serius.
Gilang masih ingat, dia pernah kena bogem mentahnya Fajar gara-gara salah paham.
Fajar orangnya posesif dan suka main tangan. Setahu Gilang, Fajar adalah pacar Daniar, sekretaris atasannya di kantor tempat dia bekerja.
Saat itu ketika hendak pulang usai jam kantor, Gilang melihat Daniar, masih sibuk menyelesaikan pekerjaan di kantor sendirian. Karena tidak tega, Gilang menemani sampai Daniar selesai. Si*lnya, saat mau keluar kantor, tiba-tiba Fajar sudah berdiri di depan pintu lobi kantornya. Tanpa ba, bi, bu dengan cemburu buta, Fajar langsung menghadiahi bogem mentah.
Tapi, Kenapa sekarang ia mau melamar Sekar?
“Jadi gimana, Le? Kamu aja ya yang nikah sama Sekar. Mama sedih lho, Le, kalo kamu nggak mau,” tiba-tiba suara mamanya membuyarkan lamunannya.
“Gilang hanya nggak mau kalau Fajar yang melamar Sekar!” sahut Gilang sambil menghilang masuk ke kamarnya.
BERSAMBUNG