MANTAN ISTRIKU SAYANG

judul : Mantan Istriku Sayang

Darahku berdesir saat mengingat pertemuan singkat dua hari yang lalu dengan Zahra. Aku kembali termenung dengan berbagai macam pertanyaan yang berkecamuk memenuhi pikiran. Menimbang-nimbang keputusan terbaik untuk masa depannya.
Aku seorang laki-laki dewasa, tentunya menginginkan sebuah pernikahan. Tapi, aku tak boleh gegabah dalam menentukan pilihan sekali seumur hidup. Keputusan ini sakral. Karena aku harus menyatukan dua keluarga besar sekaligus. Bukan hanya dua hati yang saling menaruh rasa saja.
“Maaf, Dik. Tapi… kenapa buru-buru sekali?” Tanyaku kemarin, ketika Zahra mengajakku menjalin hubungan serius.
Aneh sekali bukan?
Bagaimana aku tidak terkejut? Ketika pernikahan yang kuanggap berat, namun begitu ringannya terucap dari bibir seorang gadis yang baru lulus SMA.
Bukan aku meremehkan niat baiknya. Tapi, apa Zahra tahu seluk beluk pria yang diajaknya menikah ini?
Bagaimana kalau aku buruk? Tidak sesuai harapannya. Mengingat kami tak pernah membahas hal ini sebelumnya. Aku tak mengenal karakter Zahra sesungguhnya, begitupun sebaliknya.
Zahra tak tahu bagaimana kehidupanku di rumah. Ia tak mengenal keluargaku, mamah, serta adik-adikku. Kami hanya sebatas kenal tanpa mengenal. Sebatas pernah bertemu tanpa adanya titik temu.
🍁🍁🍁
“Kau sudah pulang, Ham?” Wanita berparas ayu ini menyambutku dengan hangat saat aku selesai berganti pakaian.
Mama memang sering mengunjungiku karena alasan kesepian. Sejak Papa meninggal, wanita dengan kerutan dibawah mata itu hanya tinggal bertiga dengan si kembar, Azam dan Izam. Dua adikku itu tengah sibuk dengan kuliahnya, sehingga mereka jarang ada waktu di rumah.
Kami berdua sedang menikmati malam di meja makan. Mama memasak Mangut Lele kesukaanku. Ia menuangkan satu centong nasi diatas piringku, kemudian menaruh sambal terasi diatasnya. Aku yang sejak tadi menahan lapar itu seketika ingin langsung melahapnya hingga tandas.
Hingga, waktu seakan berjalan begitu cepat.
Dataran berliku, menampakkan hamparan perkebunan teh bernuansa hijau, di dalam mobil berukuran cukup besar ini kami sekeluarga siap melamar gadis 18 tahun itu. Ada mamah, kedua adikku—Azzam dan Izzam serta budhe dan pakdhe lengkap dengan anak cucunya juga turut serta mengantarku di belakang.
[Mas Hamid, sudah sampai Malang?]
Pesan masuk dari Zahra.
[Sudah Ra, tunggu Mas ya, semoga acara hari ini berjalan dengan lancar] terkirim.
Beberapa hari lalu memang aku sudah menghubungi Zahra jika kami sekeluarga akan datang melamar. Tanpa berlama-lama ia menyambutnya dengan antusias. Kemudian mengirimkan alamat lengkapnya di Kabupaten Malang.
Berdebar sekali rasanya, meski momen seperti ini bukanlah kali pertama buatku, tapi masih saja rasanya sama, berdebar sekaligus takut. Takut apakah ini keputusan yang tepat, karena mengingat hal yang terburu-buru itu tidak baik.
Bibirku tak henti-hentinya melantunkan dzikir. Meyakinkan hati, bahwa segala sesuatu yang berjalan di muka bumi ini sudah kehendak sang Maha Rahim.
“Jangan tegang gitu ah, Ham.” Celetuk mamah memecahkan tawa seluruh isi mobil.
“Hahaha.”
“Ham, semangat 45 ya, pakde doakan semoga yang ini langgeng.” Pakdhe menjawil pundakku.
“Aamiin.” Seisi mobil mengaminkan.
“Pakdhe mu dulu Ham, orangnya gagah sepertimu, ganteng, kumisnya tebel, agak ngeri-ngeri gitu, ehhh mau ngelamar budhe ketakutan, gak berani ketemu orang tua bude, Mak ciuuut!”
“Hahaha,” kelakar seisi mobil.
“Jangan bukak kartu lah buk.”
“Tapi beneran kan pak?”
“Iya juga sih,”
“Wkwkwk…”
Beberapa dari mereka tertawa lebar mendengar guyonan dari Pakdhe dan Budhe, sementara Mamah menggodaku dengan tatapan jahil. Akupun hanya tersenyum dengan segala tekad dan keyakinanku.
“Alhamdulillahirobbil’alamin!”
Seruan kalimat syukur memenuhi ruangan, setelah serangkaian acara lamaran yang begitu sederhana ini berjalan dengan lancar. Kedua keluarga telah sepakat menentukan tanggal pernikahan. Menurutku ini sangatlah cepat, rasanya seperti mimpi. Namun, aku sangat lega karena keluarga Zahra begitu ramah dan mudah menyatu dengan keluarga besarku. Sepertinya Allah SWT telah merencanakan sesuatu yang indah untuk hubungan kami.
Acara resepsi berlangsung di kediaman Zahra dengan sederhana, serangkaian akad dan pengajian berjalan dengan lancar, hanya beberapa kerabat dekat yang hadir menyaksikan perjanjian sakral kami. Perjanjian yang sah dihadapan Allah SWT, tapi belum diakui oleh negara. Karena rencananya, kami akan menikah secara sah di Kediri nanti, tentunya dengan persiapan yang benar-benar matang. Karena, kami akan mengundang saudara jauh dan para sahabat.
Zahra terlihat semakin cantik dengan riasan natural nan anggun, rambut pirang kecoklatannya disanggul manis. Kebaya putih nan elegan, ditambah permata menghiasi bagian dadanya. Tampaknya Zahra memang semakin berisi, namun dia tetaplah cantik. Bahkan semakin manis saja karena sentuhan blush on merah muda di pipinya.
“Alhamdulillah Ra, secepat ini hubungan kita menuju halal.” Ucapku di balik kemudi, Zahra tersenyum manis di kursinya.
Kami bertolak ke Kediri dengan mengendarai mobil pengantin. Orang-orang mempercayaiku menyetir sendiri karena mereka tak ingin mengganggu bulan madu kami. Sementara orang tua Zahra masih ingin menghabiskan waktunya bersama Eyang Putri di Malang.
“Iya Mas.” Jawabnya singkat.
“Sejak kapan kamu manggil saya Mas?”
Memang beberapa kali kudengar Zahra memanggilku Mas, entah sejak kapan, Zahra pun sudah lupa, tapi Alhamdulillah panggilan itu memang pantas untukku. Karena usia kami memang tak jauh berbeda.
Menjelang magrib kami telah sampai di Kediri. Aku menurunkan koper besar yang berisi pakaian milik Zahra dan membawanya kedalam kamar. Rupanya kamar kami sudah di desain dengan sangat cantik oleh Mamah. Kamar yang biasanya berantakan, kini disulap seperti istana di novel-novel.
Lampu hias berwarna kuning keemasan ditata rapi mengelilingi dinding. Ranjang dengan sprei warna putih berhias taburan kelopak mawar diatasnya. Rumbai-rumbai dengan hiasan bunga segar menambah suasana romantis menguar harmoni bersama aroma jeruk lemon dan pandan.
“Kamu suka kamarnya, Dek?”
“Ini sangat indah, Mas.”
Kami duduk bersisian diatas ranjang. Lampu hias kuning berbentuk hati terlihat serasi dengan ukiran nama kami di tengahnya.
Zahra menyandarkan kepalanya di pundakku bersama alunan lagu romantis sebagai pelengkap malam pertama kami. Mungkin, malam ini adalah saat yang tepat untuk menuntaskan kewajiban batinku padanya. Darahku berdesir, saat menantikan malam-malam penuh cinta kami berdua di kamar ini.
Bersambung…