Janda Nakal di Kantor Suamiku

Ayunda melangkah lemas menuju kursi pengunjung yang berada di dekatnya.
Sejak kemarin ia memikirkan, apakah ia harus datang ke rumah sakit untuk menemani Singgih? Namun, hatinya sungguh tak dapat dibohongi. Luka besar akan perbuatan Singgih masih menancap di dalam dadanya.

Ayunda membatalkan niatnya menemui Singgih, ia memilih pergi menuju UGD untuk melihat Endah.
“Ayunda,” panggil Singgih yang muncul di depan pintu ruangannya. Ia berjalan menggunakan kruk yang disediakan rumah sakit.

“Mana Ibu dan Ajeng?” tanya Singgih.
“Aku dengar tadi ada ribut-ribut. Ada apa?” tanya Singgih lagi.
Beberapa orang yang masih berada di sana, kini melihat sambil berbisik.
“Ibu dibawa ke UGD,” jawab Ayunda singkat.
Kemudian Ayunda pergi begitu saja.
“Tadi Ibu dan istri Bapak berantem,” ucap salah satu keluarga pasien yang masih berada di sana kepada Singgih.

“Yang benar, Bu?” tanya Singgih memastikan.
“Iya, Pak. Terus ibunya Bapak pingsan. Makanya dibawa ke UGD,” lanjut Ibu itu lagi.
Secara tertatih, Singgih berusaha berjalan menuju UGD. Ia ingin melihat keadaan ibunya.
Ayunda berdiri di luar ruang UGD, sedangkan Ajeng berada di dalam dan terus menangis. Singgih berusaha masuk ke dalam ruang UGD, tetapi dicegah oleh petugas rumah sakit.

“Kalau ada apa-apa sama Ibu, kamu harus tanggung jawab, Ayunda,” ucap Singgih mengancam.
Ayunda hanya melirik ke arah Singgih sebentar. Dalam hati, ia terus berdoa semoga keadaan Endah baik-baik saja. Sebuah penyesalan menelisik di hati Ayunda. Kenapa ia mengikuti kata hatinya untuk datang

melihat keadaan Singgih. Jika ia tetap di rumah, mungkin hal ini tidak akan terjadi.
Endah memang tidak sempurna sebagai mertua, tetapi Endah selalu siap saat diminta pertolongan kapan pun oleh Ayunda. Terutama saat menjaga anak-anak. Tidak terlalu banyak konflik yang terjadi di antara mereka. Ayunda harus mengakui, bahwa ia telah terbawa emosi.

Rasa sakit hatinya terhadap Singgih masih sangat terasa. Hingga ia tak mampu menghadapi Endah dengan lebih bijak. Padahal Ayunda tahu bahwa Endah juga memiliki luka yang sama sepertinya. Ditambah lagi usianya yang telah senja dan juga tekanan darah tinggi yang mudah sekali kambuh.
Singgih adalah Singgih. Kesalahan miliknya adalah miliknya. Bukan kesalahan orang lain. Bukan ibunya atau keluarga lainnya.

‘Lalu kenapa aku melampiaskan kekesalanku pada Ibu?’ batin Ayunda penuh penyesalan.
Ayunda melihat ke dalam ruang UGD, matanya terfokus pada Ajeng yang berteriak histeris. Tanpa harus menebak lagi, Ayunda paham apa yang telah terjadi.
Singgih bangkit dari kursi ruang tunggu kemudian menghampiri Ayunda.
“Kalau sampai Ibu meninggal aku, nggak akan pernah memaafkanmu, Ayunda. Nggak akan!” bentak Singgih.

Singgih berjalan mendekati pintu UGD, salah seorang security kembali menghampirinya.
“Saya ingin melihat keadaan Ibu saya, Pak,” ucap Singgih.
“Masih dalam penanganan dokter. Bapak tunggu saja dulu.”
Salah seorang suster yang ikut mengantar Endah, datang menghampiri Singgih.

“Pak. Pak Singgih. Bapak nggak boleh ada di sini, Pak. Ayo saya antar ke ruangan,” ucap suster.
“Tapi bagaimana dengan Ibu saya, Suster,” tanya Singgih.
“Tadi saya sempat lihat, Ibu berhasil melewati masa kritis. Biar dokter melakukan tugasnya. Lebih baik sekarang Bapak ikut saya kembali ke kamar,” ucap Suster sambil mengajak Singgih ke kamar.
“Tapi kenapa Adik saya histeris begitu, Sus?”

“Ya, pasti karena khawatir.”
“Tapi benar, Ibu saya nggak papa?”
“Bukan nggak papa. Tapi sedang ditangani dokter.”
Ayunda masih berada tetap di tempatnya. Ada sedikit rasa lega saat mendengar ucapan suster yang mengajak Singgih kembali ke ruangannya tadi.
“Syukurlah Ibu masih hidup,” batin Ayunda.

“Mbak Ayunda!” panggil Ajeng yang tanpa Ayunda sadari sudah berada di luar ruang UGD.
“Memang harus ya, Mbak melampiaskan kemarahan Mbak sama Ibu?” bentak Ajeng.
“Lihat keadaan Ibu sekarang! Itu semua gara-gara kamu, Mbak,” ucap Ajeng masih dalam keadaan marah.
“Tadinya saya nggak mau ikut campur masalah Mbak sama Mas Singgih. Tapi sekarang, lihat keadaan Ibu seperti ini, mau nggak mau aku jadi harus memperingatkanmu, Mbak. Kalau sampai terjadi apa-apa sama Ibu. Aku nggak akan pernah memaafkanmu! Ingat itu, Mbak!”
-_-
Janda Nakal di Kantor Suamiku (TAMAT)